Minggu, 25 Mei 2008

Duka Siswi Sekolah yang Bergelar MBA

Alangkah bahagianya seorang siswa/siswi sebuah SMU dapat melanjutkan pendidikan sampai bergelar MBA (Master of Business and Arts), namun akhir-akhir ini gelar tersebut kian merebak dikalangan siswa meskipun belum menyelesaikan sekolahnya apalagi belum sampai kuliah. Kok bisa! Itulah keajaiban yang terjadi di era modern sekarang ini.


Ya, kasus kehamilan tidak diinginkan yang menyebabkan siswi tersebut harus menikah di usia yang masih dini atau nama kerennya MBA (Married By Accident), akhir-akhir ini banyak terjadi dilingkungan siswi-siswi SMU namun juga tidak jarang siswi SLTP banyak yang menyandang gelar tersebut. Semua orang mempermasalahkan keberadaan siswi yang hamil tersebut, dari keluarganya, masyarakatnya, sampai sekolahnya. Musibah kehamilan yang dialami seorang remaja putri yang berstatus siswi sekolah (SLTP atau SMU) merupakan suatu pukulan batin dan siksaan fisik yang sangat berat untuk ditanggung oleh siswi yang mengalaminya. Hal ini karena, pertama, kehamilan yang dialami perempuan tersebut terjadi di usia dini. Pada usia tersebut, siswi yang hamil belum mempunyai kematangan atau kesiapan yang memadai untuk menjadi seorang ibu.


Kedua, gelar “MBA” yang terjadi tersebut belum diterima di masyarakat yang masih menjunjung tinggi lembaga pernikahan. Ini berarti kehamilan tersebut menimbulkan rasa malu atau aib yang luar biasa bagi si remaja perempuan tersebut, orangtua atau kerabat dekatnya.


Ketiga, kehamilan terjadi pada saat remaja tersebut masih menempuh pendidikan SLTP atau SMU. Komunitas sekolah cenderung tidak bersikap toleran terhadap kehamilan siswi dan juga melihat kehamilan yang dialami siswi sebagai aib bagi siswi tersebut atau bagi sekolahnya.


Keempat, banyak dari kasus kehamilan yang dialami remaja perempuan harus ditanggung sendiri oleh remaja tersebut karena laki-laki yang menghamili lari dari tanggung jawab. Ketika remaja tadi gagal mendapatkan pengakuan dan tanggung jawab dari laki-laki yang menghamilinya, banyak dari remaja hamil nekad melakukan aborsi atau bahkan laki-laki yang menghamilinya tadi menyuruh siswi tersebut untuk menggugurkan kandungannya tersebut.


Keputusan melanjutkan kehamilan bukan pula pilihan yang mudah.
Siswa dan orangtuanya akan menanggung aib yang berat di masyarakat. Aborsi seringkali menjadi solusi. Cara lain untuk menutup aib adalah dengan mengawinkan siswi tersebut dengan laki-laki yang menghamilinya. Cara seperti ini belum tentu berhasil dilakukan. Sebab, laki-laki dapat mengelak dari tanggung jawab sebagai suami. Apalagi siswi yang hamil tersebut karena diperkosa, tentu tidak ingin kawin dengan yang memperkosanya atau dengan mengucilkannya ke suatu tempat yang tersembunyi sampai bayinya lahir. Kemudian bayi tersebut diserahkan ke panti untuk diadopsi suatu keluarga.

Tidak ada komentar: